Yogyakarta, 25 Januari
2020 dalam keadaan otak lagi rada bener tapi banyak pikiran.
Beberapa bulan yang lalu pernah
nongkrong bareng temen, kita ngomongin gaya hidup kita yang nggak sehat abis.
Aku sering pulang malem karena ada kegiatan organisasi, kalau dia sering pulang
malem selain karena ngurus organisasi juga karena “seneng-seneng” sih kayaknya.
Terus, aku juga hobi nunda makan, ngemil yang pedes-pedes, dan makan-makanan
instan, kalau dia yaa urusan makanan sih kayaknya kurang lebih sama aku tapi ya
gitu dia suka minum alkohol. Dari indikator itu, kita berdua meyakini bahwa
kita bakalan mati muda karena penyakitan.
Nggak lama setelah obrolan itu,
aku dikasih pandangan baru sama temenku yang lain. Dia yakin kalau dia bakalan
hidup lama karena dia punya banyak dosa. Aku awalnya nggak paham tapi kemudian
sadar. Di dunia ini tuhan sering mengambil orang-orang baik yang ada disekitar
kita, sementara yang jahat-jahat masih ada buat bikin kita menderita.
Sebenarnya aku belum pernah ngerasain kondisi ini sih tapi sinetron Indonesia
ngajarinnya begitu. Beberapa orang kelihatan hidupnya menyenangkan sekali
walaupun melakukan hal-hal yang dilarang agama. Kadang heran kok azabnya nggak
ada ya?? Tapikan aku bukan orang berhak
menghakimi seseorang banyak dosanya atau banyak pahalanya, atau dia harus kena
azab sekarang atau nanti. Yang jelas, aku sedikit mengakui perspektif temenku
yang satu ini rada bener.
Nah, beberapa minggu lalu, aku
ngobrol sama temenku yang lain di warung makan, kita ngobrolin betapa
brengseknya kelakuan kita. Aku kemudian nyinggung dua perspektif tentang
kematian dan kehidupan diatas. Menurut dia, perspektif kedua itu kurang tepat,
nggak semua yang sering bikin dosa panjang umurnya. Dia ngasih contoh dengan
kondisi para pekerja seks komersial atau orang-orang yang suka narkoba atau
suka minum, iya mereka bikin dosa, tapi umur mereka nggak banyak yang bertahan
lama. Aku sih menyimpulkan dari omongan dia bahwa iya mereka bikin dosa, tapi
tindakan mereka ternyata membunuh mereka secara perlahan atau bikin mereka
terserang penyakit, dan ya meninggal deh. Aku sempet ngomongin konsep pahala
dan dosa juga, aku meneruskan pandangan temenku yang pertama bahwa kenapa
perbuatan baik dan buruk kita nggak menggunakan sistem carrot and stick? Kenapa
menggunakan pahala dan dosa? Kita nggak bisa liat tolak ukur pahala dan dosa
kita. Pernyataan-pertanyaan itu dijawab sambil ketawa sama temenku yang ketiga
ini, janganlah pahala sama dosa ditunjukin, masa kemana-mana keliatan jumlah
dosanya.
Tiga perspektif itu sempet bikin
aku mikir banget sih, tapi aku masih rada condong ke perspektif pertama. Soalnya
perspektif yang pertama itu memang ditujukan ke diri aku dan temenku itu, bukan
buat semua orang. Perspektif tentang mati muda karena penyakit ini kemudian
terguncang. Beberapa hari ini, dunia internasional lagi heboh sama virus corona.
Aku deg-degan banget soalnya informasi di media sosial tentang ini virus serem
abis, penyebaran yang cepet, korban meninggal yang banyak, dan belum adanya
pengobatan dan vaksin. Setelah seharian terpapar informasi tentang virus
corona, aku jadi ngikutin segala tindak pencegahan dan memastikan diri agar
imun nggak turun. Nah, habis pulang main tadii banget aku baru teringat, kalau
aku yakin aku bakalan mati muda karena penyakit kenapa aku takut banget sama
ini virus. Jangan-jangan selama ini perspektif aku itu buat gaya-gayaan doang?
Paham nggak sih? Susah nih ngejelasinya. Mungkin aku percaya itu perspektif
waktu kondisi mental aku emang lagi turun. Atau aku mikir penyakit yang bakalan
bikin aku mati itu penyakit yang bakalan bikin menderita dulu gitu. Kalau
tipikal virus corona kan matinya mendadak yah, mungkin aku takut aku nggak
sempet tobat, minta maaf, dan berbuat baik.
Plin-plannya aku dalam memandangi
kematian dan kehidupan ini juga bikin aku sadar, sepertinya aku memang belum
siap mati. Jelas karena aku percaya ada yang namanya penghitungan amal, dan
surga-negara. Aku takut dosaku lebih banyak daripada tabungan pahala. Sementara
kondisi aku saat ini kayaknya tiap hari bikin dosa deh walaupun tiap hari juga
aku sholat dan mengaji. Ini mah bukan bentuk rendah diri nggak sih? Ini bukti
bahwa aku sebenarnya banyak sekali menyia-nyiakan waktu yang diberikan Allah
SWT. Walaupun sebenarnya nggak ada orang yang bener-bener siap untuk diambil
nyawanya, setidaknya beberapa orang yang terus mengupayakan melakukan perintah
Allah SWT dengan sebaik-baiknya dan menjauhi larangan Allah SWT sejauh-jauhnya udah
rada tenang ketika keputusan Allah SWT datang. Soalnya mereka yakin, janji
Allah SWT selalu tepat waktu.
Intinya nih dari kusut-kusutnya
pikirin aku, beberapa kejadian memang ada buat bikin sadar. Aku mungkin bakalan
mencoba kembali mendekatkan diri kepada Allah SWT setelah ini, tapi mungkin
juga nanti setelah rada tobat aku bakalan balik menjauh lagi, yang jelas catatan
ini harus aku buka terus, baik ketika iman kuat atau iman lemah. Ketika iman
lemah, aku bakalan sadar bahwa posisi aku harus segera diperbaiki, ketika iman
kuat aku bakalan sadar bahwa ini merupakan pengingat agar terus istiqomah.
0 komentar:
Posting Komentar